Kamis, 06 Juni 2013

TAHLIL IQTIBAS

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Ilmu balaghah sebagai salah satu cabang ilmu dalam bahasa Arab pun mengalami fase kemunculan, perkembangan, dan seterusnya. Ilmu bahasa Arab yang memiliki tiga cabang ini, yaitu ilmu ma’ani, bayan, dan badi’, tidaklah ada dari awal dalam sistematika seperti yang kita kenal sekarang ini. Dahulu, sama sekali tak dikenal istilah balaghah sebagai sebuah ilmu.
Pengetahuan tentang sisi sejarah balaghah perlu dipahami agar muncul kesadaran bahwa ilmu ini memang bukan benda mati yang yang tidak dapat diperbarui. Kesadaran inilah yang dapat menjamin perkembangan ilmu ini yang lebih maju, tidak mengalami kejumudan atau bahkan kepunahan. Kemajuan yang dimaksud di sini meliputi berbagai segi, entah dari segi pengajarannya yang lebih mudah, cakupan materi yang lebih luas, ataupun hasil penerapan dari ilmu itu sendiri yang memuaskan, atau bahkan munculnya ilmu baru dari ilmu yang telah ada.
llmu Balaghah adalah ilmu yang mengungkapkan metode untuk mengungkapkan bahasa yang indah, mempunyai nilai estetis (keindahan seni), memberikan makna sesuai dengan muktadhal hat (situasi dan kondisi), serta memberikan kesan sangat mendalam bagi pendengar dan pembacanya.
Posisi ilmu Balaghah dalam tatanan kelompok ilmu-ilmu Arab persis seperti posisi ruh dari jasad. Keberadaan ilmu Balaghah dan kaidah-kaidah yang tertuang didalamnya sangat urgen.
Di dalam makalah ini akan membahas lebih jelas lagi tentang, sejarah munculnya Al- Balaghah, pengertian dari Al- Balaghah dan hubungan Balaghah terhadap ilmu linguistik


BAB II
KAJIAN ILMU BALAGHAH PERSPEKTIF SEJARAH, DAN ILMU LINGUISTIK

A.     Pengertian Ilmu Balaghah
والبلاغةُ في اللغةِ: الوصولُ والانتهاءُ. يُقالُ: بلغَ فلانٌ مُرادَه، إذا وَصَل إليه، وبلَغَ الرَّكْبُ المدينةَ، إذا انْتَهى إليها. وتَقَعُ في الاصطلاحِ وصْفًا للكلامِ والمتكلِّمِ
                                                
Balaghah menurut Bahasa : وصول (sampai) yakni انتهى (akhir penghabisan). contoh:    بلغ فلان مراده( Si Fulan sudah sampai pada tujuannya ). Balaghah menurut istilah adalah sifat bagi ( kalam baligh ) dan mutakallim ( pembicara baligh)

B.      Perkembangan Ilmu Balaghah Dari Masa Ke Masa
Disipilin ilmu balaghah mulai dikenal pada masa dinasti Abbasiyah. Pada saat itu, terjadi perdebatan yang sengit di kalangan para sastrawan dan para ahli bahasa dalam mengungkap mukjizat Alqur'an. Seperti disinggung dalam kitab al-Maqasid karya as- Syaikh Sa'duddin al-Taftazani, ketegangan ini menyebabkan terjadinya perpecahan dalam tubuh umat Islam. Sehingga mereka berinisiatif untuk mendirikan aliran sesuai dengan keinginannya sendiri.  
Sebenarnya ketegangan ini ditimbulkan oleh salah satu pendapat Ibrahim al-Nidzam yang dianggap paling menyesatkan. Al-Nidzam mengatakan bahwa Alqur'an tidak memiliki kekuatan mukjizat berupa kefasihan dan kebalighannya. Bahkan, semua orang Arab pasti bisa membuat kalimat yang nilainya sama dengan bahasa yang digunakan Al-Qur`an.
Pendapat ini mengundang reaksi keras para pakar sastra dan ulama waktu itu. Di antaranya adalah al-Baqilany, Imam Haramain, dan Imam al-Fakhrurrazi. Mereka kemudian menulis sebuah risalah yang isinya menolak semua argumen Ibrahim al-Nidzam, dan mengungkap kebobrokan aliran yang dianut olehnya.
Sebagaimana yang tertera di dalam kitab 'Ulum al-Balaghah' karya Ahmad Mushthofa al-Maraghi, bahwa yang pertama kali memperkenalkan metode balaghah adalah Ubaidah Mu'ammar bin Mutsanna al-Rowiyah (w. 211 H.), salah satu murid Imam Kholil yang notabene pakar bahasa arab. Ubaidah menulis sebuah kitab tentang Ilmu Bayan ( salah satu topik utama disiplin ilmu Balaghah, selain Ma`ani dan Badi` ) yang bernama majaz Al-Qur`an. Akan tetapi, sebenarnya yang lebih tersohor dalam menyusun kaidah-kaidah balaghah adalah Khalifah Abdullah bin Mu'taz bin Mutawakkil al-Abbasiy (w. 296 H). Dalam usahanya menyusun kaidah balaghah tersebut, beliau betul-betul mendalami dan menekuni dunia sastra ( sya`ir ), kemudian menyusun kitab ber nama Al-Badi`. Dalam kitab tersebut beliau menguraikan tentang tujuh belas macam kaidah balaghah seperti Kinayah, Bayan, Isti'arah, dan Tauriyah. Dalam salah satu tulisannya beliau berkata, "Tak seorang pun sebelum aku yang pernah mengarang ilmu Badi', dan tidak seorang pun yang pernah menyusunnya selain aku. Bagi siapa saja yang ingin mempelajari karanganku, maka lakukanlah. Jika ada (di antara kalian) yang melihat kebaikan dalam karangan tersebut, maka itu perlu dicoba ( dibuktikan ).
Sepeninggal Beliau, pada periode selanjutnya perkembangan balaghah kian pesat dan signifikan. Hal ini dengan tersusunnya sebuah risalah bernama Naqdu Qudamah yang disusun oleh Qudamah bin Ja'far al-Baghdady (w. 310 H.). Kitab ini merupakan kelanjutan dari karangan Khalifah Abdullah al-Mu'taz al-Abbasiy, sekaligus menyempurnakan istilah-istilah yang dipakai di dalamnya. Kalau dalam kitab Al- Badi' Khalifah bin al-Mu'taz hanya mengenalkan tujuh belas istilah saja, maka imam Qudamah memperkenalkan beberapa kaidah-kaidah baru sehingga jumlah keseluruhan menjadi tiga puluh kaidah.
Tidak hanya sampai di situ saja, kedua kitab tersebut kemudian dipelajari lagi oleh imam Abu Hilal bin Abdillah al-'Askary (w. 395 H.). Dari pendalaman itu beliau akhirnya menyusun sebuah kitab bernama Al-Shina'ataini, yang disampaikan dengan dua kalimat, prosa dan sastra. Di dalamnya terdapat sebanyak 35 macam badi', serta membahas beberapa masalah yang berkaitan dengan balaghah seperti Fashahah, Balaghah, Ijaz, dan beberapa bab Naqdu al-Syi'ry (kritik sastra). Kitab inilah yang kemudian dianggap sebagai karangan pertama yang mengarah langsung pada tiga materi pokok ilmu balaghah berupa Ma'ani, Bayan, dan Badi' secara lengkap dan sempurna.
Abad kelima Hijriyah (atau abad kesepuluh dan kesebelas masehi) merupakan puncak dari kebangkitan ilmu balaghah. Hal itu bersamaan dengan maraknya diskusi filsafat,  sastra juga kian subur lagi. Pendorongnya ialah kegairahan mengkaji sastra di kalangan ilmuwan dan filosof, dan munculnya berbagai teori sastra yang inspiratif  bagi penciptaan. Di antara filosof dan ahli teori sastra terkemuka yang telah memberikan sumbangsih besar dalam teori dan kajian sastra adalah Abdul Qahir al- Jurjani, al-Baqillani, al-Farabi, Ibnu Sina (Avicenna), Qudamah, dan lainnya. Dalam teori mereka disampaikan pentingnya imajinasi (takhyil) dalam penciptaan karya seni. Mereka juga menemukan bahwa kekuatan bahasa Alqur'an disebabkan banyaknya ayat-ayat yang menggunakan bahasa figuratif (majaz), citraan visual (tamtsil), sebagai kitab suci yang mengandung nilai sastra tinggi, tidak diragukan lagi bahwa Alqur'an memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan kesusastraan. Lebih daripada itu, kitab ini mampu membangkitkan perkembangan ilmu bahasa. Di samping itu, Alqur'an mengandung rujukan yang melimpah untuk berbagai cabang ilmu, dan di dalam Alqur'an pula terdapat banyak kisah dengan cara penyajian yang khas dan menarik. Pola ini pula yang turut mempengaruhi corak naratif sastra Islam.
Yang perlu diketahui adalah bahwa perkembangan sastra yang demikian pesat ini sepenuhnya disulut oleh pengaruh kitab suci Alqur'an. Walaupun bukan merupakan kitab sastra, tetapi ia memiliki nilai sastra yang sangat tinggi.
Kelebihan di bidang sastra inilah yang juga menjadi nilai lebih dari Alqur'an sekaligus menjadi mukjizat Alqur'an sepanjang masa. Konon, tak satupun orang-orang arab Jahiliyah yang mampu menandingi bahasa Alqur'an yang begitu indah dan menawan. Sayyidina Umar r.a. pun sampai menangis dan akhirnya masuk Islam setelah mendengar bacaan ayat suci Alqur'an. Tak heran jika kemudian Alqur'an menjadi rujukan dan bahan utama yang dibidik oleh ilmu Balaghah.
Salah satu hal penting dan signifikan yang menandakan pembaharuan dalam sastra ialah dikaitkannya sastra dengan adab, terutama dalam pemerintahan Abbasiyah (750-1258 M.). Bahkan di masa kemudian sastra lebih identik dengan bahasa arab, dan seorang penulis karya sastra disebut al-Adib.

Masa Keemasan Balaghah dan Lahirnya Ulama Balaghah Terkemuka
Era keemasan ilmu Balaghag diawali dengan lahirnya seorang sastrawan terkemuka bernama Abu Bakar Abdul Qahir bin Abdurrahman al-Jurjani (w. 471 H.) yang dikenal dengan nama Abdul Qahir al-Jurjani. Beliau termasuk figur yang sangat perhatian terhadap ilmu balaghah. Dalam sejarah, beliaulah yang dikenal menguraikan semua kaidah balaghah satu persatu, mengajukan contoh yang mudah dimengerti dan menggunakan bahasa yang mudah dicerna. Hal itu tercermin dalam kitabnya yang bernama Asrar al-Balaghah dan Dalail al-I'jaz. Dalam penyampaiannya beliau memandang bahwa ilmu dan tindakan harus sama-sama berjalan. Oleh karena itu, contoh-contoh yang beliau kemukakan selalu berkaitan erat dengan hal-hal yang banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya agar pembaca lebih mudah mencerna kaidah-kaidah balaghah yang beliau sampaikan. Masalahnya, semua tema yang terdapat di dalam balaghah tidak akan mudah dicerna kecuali dengan memperbanyak contoh-contoh dan latihan. Maka contoh global itulah yang kemudian diolah dan dijelaskan sejelas mungkin, selain juga diperkuat dengan gambaran-gambaran particular yang makin memperjelas kandungan balaghah dalam satu redaksi atau ungkapan. Walaupun pada masa sebelum itu ada beberapa cendekiawan yang telah memperkenalkan kaidah balaghah, seperti Imam al-Jahidz, Qudamah al-Katib, akan tetapi justru Abdul Qahir yang dianggap sebagai salah satu pelopor ilmu balaghah. Klaim tersebut bukanlah omong kosong belaka dan tanpa alasan. Penilaian ini berdasarkan kontribusi Abdul Qahir yang betul-betul membangkitkan ilmu balaghah. Apa yang beliau berikan, tidak pernah sekalipun berhasil disamai oleh periode-periode sebelum dan sesudah beliau. Beliau berhasil membangun ilmu balaghah menjadi disiplin ilmu pengetahuan yang dikenal masyarakat luas.
Setelah masa keemasan Abdul Qahir berlalu, muncullah al-Imam Jar al-Allah al-Zamakhsyari, yang dikenal dengan nama Imam Zamakhsyari (w. 538 H.). Beliau banyak menguak unsur-unsur balaghah yang terdapat dalam Alqur'an, mukjizatnya, maksud ayat, serta keistimewaan yang dimiliki ayat-ayat tertentu.
Pada masa berikutnya, muncullah seorang ulama balaghah terkenal yang kontribusinya juga tidak kalah penting, yaitu Abu Ya'kub Yusuf al-Sakaky atau dikenal dengan nama Imam Sakaky (w. 626 H.). Beliau menulis kitab berjudul Miftahul Ulum yang isinya menyempurnakan dan melengkapi karangan-karangan terdahulu, serta menjelaskan kekurangan yang terdapat sebelumnya, dan banyak meneliti (mengkritik) kaidah-kaidah balaghah yang dianggap tidak diperlukan. Hasil penelitian tersebut kemudian dituangkan dalam kitab tersebut dengan penyampaian yang sistematis, dan dikelompokkan dalam bab-bab tertentu dengan rapi, dan mengklasifikan beberapa kaiadah yang terpisah satu sama lain. Semua itu beliau lakukan karena beliau banyak mempelajari kitab-kitab mantiq dan filsafat. Tentu saja kitab ini memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan kitab-kitab sama yang ditulis pada masa-masa sebelumnya. Keberadaan Imam Sakaky ini juga ditenggarai menjadi salah satu pendorong berkembangnya ilmu balaghah. Bahkan, sejarawan dan sosiolog terkemuka sekelas Ibnu Khaldun menyebutkan kalau Imam al-Sakaky yang menjadi pioner balaghah, bukan Abdul Qahir. Apalagi Imam al-Sakaky merupakan tokoh yang menjembatani antara Abdul Qahir, yang menggabungkan ilmu dan amal, dengan orang-orang kontemporer, yang memaksakan diri untuk mengkaji balaghah. Mereka menyamakan balaghah dengan ilmu-ilmu nazariyah (rasional), serta menafsiri kalimat-kalimatnya seperti mengkaji ilmu bahasa arab.keadaan ini hampir membuat Balaghah lebih mirip dengan teka – teki dan tebak-tebakan. Sehingga batasab dan kriteria ilmu Balaghah hampir musnah dan hilang. Lebih parah lagi, kitab-kitab karangan Abdul Qahir mulai ditelantarkan, dan tidak lagi dipelajari. Barangkali inilah nasib sebuah ilmu pengetahuan jika dipelajari oleh orang-orang yang berada dalam masa kehancuran (penurunan) kelemahan. Dalam kasus ini, kitab Asror al-Balaghah-nya Abdul Qahir bias disamakan dengan kitab Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun, atau SultanSulaiman dengan kitab Qawanin-nya.
Walaupun demikian, dalam pandangan Ahmad Mushthofa al-Maraghi, dibandingkan dengan Abdul Qahir, Imam al-Sakaky tak ubahnya hanya mem'bebek' pada Abdul Qahir. "ma kana al-sakaky illa 'iyalan 'ala abdil qahir," komentar beliau dalam kitab 'Ulum al-Balaghah-nya. Apalagi penggunaan redaksi dan penjelasan materi balaghah yang disampaikan oleh Imam al- Sakaky justru kurang tersusun rapi dan terkesan kacau. Mungkin kelebihan Imam al-Sakaky adalah karena beliau hidup setelah era Abdul Qahir, serta penyajian materi yang menggunakan sub bab yang lebih banyak dikenal. Tapi, lanjut al-Maraghi, seseorang yang hidup lebih dulu (Abdul Qahir) mempunyai kelebihn daripada orang yang hidup belakangan, karena dia dianggap sebagai pelopornya. Terlepas dari perbedaan pendapat tentang siapa yang lebih dulu, Abdul Qahir atau Imam al-Sakaky, ilmu balaghah telah mencapai tingkatan tertinggi pada masa itu. Hanya saja, beberapa sejarawan ada juga yang menganggap bahwa yang pantas menjadi 'Bapak' ilmu balaghah adalah Imam al-Sakaky. Tentu saja, perbedaan pendapat dan kaidah balaghah yang seringkali berbenturan satu sama lain, selalu mewarnai pembahasan kaidah dan tema ilmu Balaghah secara merata.

C.     Keberadaan Ilmu Balaghah Sebagai Cabang Ilmu Bahasa
Ilmu Balaghah yang sekilas berbeda dengan ilmu-ilmu bahasa yang lain seperti ilmu Nahwu dan sharaf, qira`ah dan muthala`ah, berbeda dengan dirasatu al-Mu`jamiyah dan ilmu as-ashaut, namun bila dianalisis secara seksama, maka dapat diperincikan keterangan.
Mengenai keterkaiatan dengan ilmu – ilmu bahasa yang lain. Keberadaaan ilmu Balaghah sebagai salah satu dari cabang ilmu bahasa akan tampak jelas, jika dibandingkan dengan ilmu – ilmu tersebut. keberadaan ilmu Balaghah sbagai ilmu bahasa Arab tahapan awal terlihat pada kelompok ilmu bayan. Dalam ilmu bayan terdapat kalam  ( kalimat yang sempurna ) yang terdapat juga dalam ilmu nahwu yang disebut dengan al-jumlatu mufidah ( kalimat yang sempurna ).

D.     Keberadaan Ilmu Balaghah dari Segi Struktur
Ilmu Balagah memperkenalkan banyak struktur kalmat dan dari segi ( makna kalimat ). Struktur kalimat dalam ilmu Balaghah adakalanya terdiri dari ismiyah dan adakalanya jumlah fi`liyah. Struktur jumlah ismiyah sama dengan struktur yang ada pada jumlah al-khabari. Pengenalan tentang mubtada` dan khabar ( jumlah ismiyah ) yang terdiri dari musnad dan musnad ilayhi. Struktur yang terbalik dapat saja dalam ilmu Balaghah jika kalimat tersebut hasil karya sastra . hal seperti iu, menandakan adanya suatu kebebasan memilih struktur agi para sastra. Kesamaan struktur Amar antara ilmu Nahwu dan Ilmu Balaghah terlihat jelas dari cara pembentukan Amr, yaitu :
1.      Dibentuk dari fi`il Amr asli dengan makna perintah secara hakiki ( sebenarnya ).
2.      Bentuk fi`il mudhari di dahului lam Amr .
3.      Bentuk isim fi`il Amr.
4.      Bentuk masdar sebagi ganti fi`il Amr
untuk kesamaan struktur ini, para ahli Balaghah menuliskan sama dalam buku mereka, tidak ada yang menuliskan adanya satu  perbedaan struktur. Struktur nahyi pads ilmu Balaghah juga "mempunyai kesamaan dengan ilmu Nahwu. Demikian juga dengan struktur Istifham, struktur  Tamanny. Urgensi ilmu Balaghah akan sangat terasa apabila diperhatikan kegunaannya ketika menterjamahkan kalimat. Karena dalam Balaghah ada arti leksikal dan ada arti gramatikal. Suatu contoh dapat diperhatikan : /la takullahuma uffun' /"janganlah kau katakan ah, pada kedua orang tua mu". Kalau seseorang tidak menggunakan ilmu balaghah maka ia tidak akan sampai kepada arti sebenarnya yang terkandung dalam kalimat itu. Makna sebenarnya jauh lebih dalam dari apa yang diterjemahkan ini. Makna tersirat (tersembunyi) dari kalimat diatas adalah sedangkan mengucapkan “ah“ saja dilarang dalam Islam apa lagi berbuat kasar dan tidak baik terhadap orang tua. Sindiran-sindiran halus dari bahasa Al-Quran akan terasa membekas di dalam benak seseorang, apabila ia telah mengetahui Balaghah dan dasar-dasar ilmu terjemah.

KESIMPULAN


llmu balaghah yang semula oleh sementara orang dikategorikan kepada ilmu sastra, tetapi ilmu balaghah itu adalah sintaksis Arab. Sebagai ilmu semantik tentu ia berkaitan erat dengan ilmu Sintaksis ilmu Nahwu dan ilmu sharf. Keberadaan ilmu balaghah sebagai ilmu bahasa Arab akan terlihat dengan jelas jika dipergunakan kaca mata balaghah, dengan demikian akan mudah pula untuk mengerti pesan yang terkandung dalam serangkaian kalimat, baik berbentuk sastra ataupun yang bukan sastra.
Secara ilmiah, ilmu balaghah merupakan suatu disiplin ilmu yang mengarahkan pembelajaran untuk bisa mengungkapkan gagasan, pikiran, dan perasaan seseorang berdasarkan kepada kejernihan dan ketelitian dalam menangkap keindahan. Mampu menjelaskan perbedaan yang ada di antara macam-macam uslub (ungkapan). Dengan kemampuan menguasai konsep-konsep balaghah, bisa diketahui rahasia-rahasia bahasa Arab dan seluk beluknya serta akan terbuka rahasia-rahasia kemu’jizatan Al-Quran dan Al-Hadits.
Keberadaaan ilmu Balaghah sebagai salah satu dari cabang ilmu bahasa akan tampak jelas, jika dibandingkan dengan ilmu – ilmu tersebut. keberadaan ilmu Balaghah sbagai ilmu bahasa Arab tahapan awal terlihat pada kelompok ilmu bayan. Dalam ilmu bayan terdapat kalam  ( kalimat yang sempurna ) yang terdapat juga dalam ilmu nahwu yang disebut dengan al-jumlatu mufidah ( kalimat yang sempurna ).
Urgensi ilmu Balaghah akan sangat terasa apabila diperhatikan kegunaannya ketika menterjamahkan kalimat. Karena dalam Balaghah ada arti leksikal dan ada arti gramatikal






DAFTAR PUSTAKA

Akhdhori Imam, (2010), Terjemah Jauharul Maknum, Al Hidayah Surabaya
sastra-sastraarab.blogspot.com





Tidak ada komentar:

Posting Komentar